Sore ini aku terdiam di tepi jendela, memperhatikan kelopak-kelopak hujan jatuh berguguran dengan rela. Angin yang sibuk menjatuhkannya sesekali menampar pipiku dengan satu dua kelopak hujan itu, mengingatkanku agar tak terlalu terhanyut dalam kenangan akanmu. Masa lalu, katanya.
Kuperhatikan kelopak-kelopak indah yang jatuh berhamburan, sayang sekali bila hanya dibiarkan percuma berserakan. Terpikir dalam riuh bisuku untuk mengumpulkan banyak kelopaknya, mungkin nanti malam saat aku tak dapat tidur seperti biasanya, kelopak itu dapat kubuat menjadi sebuah hiasan. Menyibukkan diriku dengan hal lain, agar malam ini aku tak perlu sibuk memikirkanmu.
Lalu aku mulai bingung hiasan apa yang dapat dibuat dari kelopak hujan bila malam.
Sebenarnya aku ingin membuat pigura warna-warni dari kelopak hujan itu, agar nanti bisa kubuat fotomu yang sekarang masih saja terpasung di hatiku terpasang di pigura itu, untuk nanti kusimpan di meja kamarku. Dengan begitu aku tak perlu membawa-bawa fotomu kemanapun aku pergi, jadi nanti aku hanya akan dapat melihat wajahmu saat berada di kamarku, dan di luar itu aku dapat melihat wajah mungkin seorang atau dua orang lainnya.
Tapi mungkin sulit membuatnya berwarna-warni bila tanpa pewarna matahari, bisakah kubuat berwarna bila dengan cahaya bulan saja?! Aku tak mau bila harus membingkai fotomu dengan pigura biasa tanpa warna, bila memang harus kubingkai fotomu, harus dengan pigura indah penuh warna. Harus begitu. Tapi bisakah aku membuat kelopak hujan itu berwarna-warni bila tanpa pewarna matahari?!
Setelah berpikir lama-lama, aku tak menemukan cara untuk mewarnai kelopak hujan itu malam nanti. Mungkin aku harus membuat sesuatu yang lain darinya, bukan sebuah pigura. Bagaimana bila kubuat saja kelopak hujan itu menjadi sebuah cawan, tak perlu berwarna, tapi pasti tetap dapat berguna. Nanti, sesekali cawan hujan itu dapat kupakai untuk menampung air mata yang terkadang terjatuh tanpa sengaja saat aku memandangi fotomu sambil erat menutup mata. Ah, aku lupa, walau memang tak ada jatuh yang sengaja tapi aku tak lagi mau menjatuhkan air mata karenamu, bila sendiri.
Aku kembali berpikir lama-lama, apa yang bisa kubuat dari kelopak hujan itu nanti malam, agar bisa kubuat sesuatu dengan fotomu yang masih saja terpasung di hatiku.
Ah, aku berpikir terlalu lama. Sekarang kelopak-kelopak hujan itu sudah berhenti berguguran, kini mereka sudah tertumpuk-tumpuk di tanah berserakan. Aku tak mau mengumpulkannya bila sudah berhamburan di tanah, tampak tidak lagi indah bagai hati yang sudah kalah menyerah. Sudahlah, aku tak jadi mengumpulkannya, ini karena kebiasaan bodohku berpikir lama-lama. Tapi sepertinya malam nanti aku tak jadi mempunyai kesibukan lain selain sibuk memikirkanmu lagi. Baguslah, hanya malam nanti, setidaknya sore ini aku tidak memikirkanmu.
Kuperhatikan kelopak-kelopak indah yang jatuh berhamburan, sayang sekali bila hanya dibiarkan percuma berserakan. Terpikir dalam riuh bisuku untuk mengumpulkan banyak kelopaknya, mungkin nanti malam saat aku tak dapat tidur seperti biasanya, kelopak itu dapat kubuat menjadi sebuah hiasan. Menyibukkan diriku dengan hal lain, agar malam ini aku tak perlu sibuk memikirkanmu.
Lalu aku mulai bingung hiasan apa yang dapat dibuat dari kelopak hujan bila malam.
Sebenarnya aku ingin membuat pigura warna-warni dari kelopak hujan itu, agar nanti bisa kubuat fotomu yang sekarang masih saja terpasung di hatiku terpasang di pigura itu, untuk nanti kusimpan di meja kamarku. Dengan begitu aku tak perlu membawa-bawa fotomu kemanapun aku pergi, jadi nanti aku hanya akan dapat melihat wajahmu saat berada di kamarku, dan di luar itu aku dapat melihat wajah mungkin seorang atau dua orang lainnya.
Tapi mungkin sulit membuatnya berwarna-warni bila tanpa pewarna matahari, bisakah kubuat berwarna bila dengan cahaya bulan saja?! Aku tak mau bila harus membingkai fotomu dengan pigura biasa tanpa warna, bila memang harus kubingkai fotomu, harus dengan pigura indah penuh warna. Harus begitu. Tapi bisakah aku membuat kelopak hujan itu berwarna-warni bila tanpa pewarna matahari?!
Setelah berpikir lama-lama, aku tak menemukan cara untuk mewarnai kelopak hujan itu malam nanti. Mungkin aku harus membuat sesuatu yang lain darinya, bukan sebuah pigura. Bagaimana bila kubuat saja kelopak hujan itu menjadi sebuah cawan, tak perlu berwarna, tapi pasti tetap dapat berguna. Nanti, sesekali cawan hujan itu dapat kupakai untuk menampung air mata yang terkadang terjatuh tanpa sengaja saat aku memandangi fotomu sambil erat menutup mata. Ah, aku lupa, walau memang tak ada jatuh yang sengaja tapi aku tak lagi mau menjatuhkan air mata karenamu, bila sendiri.
Aku kembali berpikir lama-lama, apa yang bisa kubuat dari kelopak hujan itu nanti malam, agar bisa kubuat sesuatu dengan fotomu yang masih saja terpasung di hatiku.
Ah, aku berpikir terlalu lama. Sekarang kelopak-kelopak hujan itu sudah berhenti berguguran, kini mereka sudah tertumpuk-tumpuk di tanah berserakan. Aku tak mau mengumpulkannya bila sudah berhamburan di tanah, tampak tidak lagi indah bagai hati yang sudah kalah menyerah. Sudahlah, aku tak jadi mengumpulkannya, ini karena kebiasaan bodohku berpikir lama-lama. Tapi sepertinya malam nanti aku tak jadi mempunyai kesibukan lain selain sibuk memikirkanmu lagi. Baguslah, hanya malam nanti, setidaknya sore ini aku tidak memikirkanmu.