Cerpen : Karanganyar I

Selamat pagi, sahabat tersayang! Selamat datang di siaran perdata Radio Cihuy. Sebentar ya, penyiar gosok gigi dulu.. sambil menunggu, silahkan menikmati tembang berikut.. 
#nowplaying  Rhoma Irama – Kelana  


Baiklah, beberapa saat lalu saya mengunjungi sebuah tempat jauh di timur kota Bandung. Namun karena ini tempat rahasia saya setiap kali bersembunyi melarikan diri dari para rentenir, polisi dan tetangga yang sadar mangganya dicuri, jadi tidak akan saya sebutkan kalau sebenarnya tempat ini bernama Karanganyar. 

Berikut akan saya laporkan kegiatan saya selaku delegasi dari Radio Cihuy sebagai tugas pertama seorang penyiar yang diperkirakan akan tanpa pendengar, cekitdong. 

*) Setiap pagi, di sana saya diberdayagunakan sebagai tukang ojek pribadi adik sepupu. Mengantar dia ke sekolah melalui jalanan panjang yang lengang. Dan setiap kali, saya dapati sensasi yang, aduh, klasik sekali.. tidak bisa didapatkan di kota-kota penuh polusi dan polisi. 
Bayangkan, mengendarai motor pada jalanan di antara pesawahan, saat kabut mulai menipis, udara dingin segar yang menepis. Sinar hangat matahari sesekali menyentuh pipi, angin menyibak rambut dan ujung jaket –berkibar seperti biasanya terjadi pada tokoh utama salah satu adegan film di TV. Menikmati perjalanan dengan kecepatan motor yang sesukanya sendiri, sambil sedikit bernyanyi.. dan mengemut permen loli… baiklah, tanpa permen loli. Ini sederhana sekali, tapi membahagiakan. 

*) Duduk sendiri di beranda rumah yang dikelilingi pepohonan tinggi, dengan semilir angin yang terhembus dari pesawahan, sambil menikmati segelas kopi. Memperhatikan hewan-hewan peliharaan yang lalu-lalang, burung atau tupai liar yang sesekali terlihat berloncatan di pepohonan. Juga kenangan masa kecil dulu yang biasanya terlupakan. Selembar kertas, bolpoint di tangan. Sederhana, tapi membahagiakan. 

*)  Berjalan sendiri di pematang dengan pepadian yang menguning membentang, sehabis mandi, setelah memakai body lotion oleh-oleh seorang teman dari Bali (entah mengapa, bahkan lotion dari Bali tetap tak membuat kulit saya seputih Sinta) dengan mengenakan celana pendek, kaos dan jaket secukupnya, tambahkan dua siung bawang merah, satu ember pasir, dan diaduk hingga merata, lalu tiriskan. 

Berada sendiri di tengah pesawahan yang luasnya membuat putus asa bila harus mengepelnya, tanpa terlihat seorang lain manusia, rasanya seperti ada suara gaib berperan sebagai moderator dan berbicara, “Inilaah, binatang bintang sawah kita, Maulanaaaa!!” (pepadian berhenti menari, jangkrik berhenti mencuci, belut terbangun dari tidurnya, ular berhenti sejenak menelan tikus, tikus berhenti sejenak ditelan ular , dan semua penghuni sawah serempak bersorak sorai) 

Di pesawahan bagian pesisir sudah ada warga setempat yang sedang memanen. Inilah yang terkadang membuat saya heran, walau saya tidak mengenal mereka tapi mereka masih mengenal saya, menyapa, “Eh, Nur! Kapan sampai sini?”, dan terdengar beberapa yang lain bertanya-tanya, “Siapa? Oh, putranya Surat..”, hal yang paling saya suka dan sering sekali saya dengar tiap kali berada di sana.  
Setelah mengobrol sejenak dan beranjak masih saya dengar mereka membicarakan, berikut inilah beberapa komentar yang saya dengar setelah mengalami alih bahasa dan sedikit penyesuaian ; ”wah, ganteng ya..”, “ya ampun, putih banget..”, “gagah bener ya anaknya Surat ini..”, “jaketnya bagus, pasti pinter nih..”, “seneng kayaknya kalau punya menantu kayak dia, bisa disuruh-suruh..”, “harusnya langsung jab kiri, KO!”, “wasit goblo*g!”, “alah Amira, cengeng lu!!”, “bagaimanapun yang terjadi, saya prihatin..”   
Bagi saya, semua ini juga adalah hal yang sederhana, namun membahagiakan. 

*) Sudah menjadi hal yang biasa, tiap kali saya bertemu dengan banyak saudara di sana, maka dengan kekuatan bulan saya langsung berubah menjadi kotak curhat, berubah!!... Beruntunglah saya suka mendengarkan. Semua keluh-kesah, setiap cerita haru-bahagia diceritakan mereka dengan penuh kejujuran yang lugu, dan dalam tempo yang tidak ada singkat-singkatnya. Senang rasanya mendengarkan hal-hal sederhana seperti yang mereka ceritakan dan mereka temui seharian. Ya maklum, biasanya saya mendengarkan curhatan Presiden tentang naiknya harga tarif parkir, atau keluhan Menkominfo karena katanya BB mau diblokir, dan semacamnya yang tidak terlalu dipikirkan mereka yang tinggal di pedesaan. 
Menjadi tempat seorang lain membagi rasa, adalah juga sebuah kebahagiaan yang sederhana. 


Banyak hal sederhana lain yang saya dapati di tempat itu yang jarang bisa saya dapatkan di perkotaan, mungkin karena memang tidak setiap hari bisa didapati sehingga semua itu rasanya menjadi hal yang lebih dari biasa. 
Dan seperti yang seringkali saya dengar, “Happiness is a state of mind”, artinya kebahagiaan itu sebagian dari iman, jadi bila kita percaya kita bahagia, maka kita bahagia. Begitupun kiranya. 
Sebenarnya ada lagi satu hal yang belum pernah saya dengar dari seorang filsuf yang tidak ada seorangpun mengenal, beliau mengatakan “Happiness, oh, never mind”, yang satu ini setelah berpikir begitu keras dan bertanya pada jutaan orang, saya tetap tidak mengerti maksudnya. Yah, tidak apa-apa. Semua tetap baik-baik saja. 
 Tapi di luar itu semua, menurut saya, mengapa harus memilih cara yang rumit untuk merasa bahagia bila cara yang sederhana jauh lebih mudah didapatkan?! 


Ah, baiklah. Demikian tadi hanya segelintir pengalaman saat kemarin berkunjung di pedesaan. Saya jadi berpikir untuk tinggal di sana, jarang ada polisi lalu lintas soalnya. 
Oke, sampai bertemu di perjumpaan berikutnya. 
Dan selamat datang di Radio Cihuy.