Aku adalah wanita yang selalu mengamatimu dari balik jendela. Memperhatikan setiap gerakmu dari dulu. Sejak kau masih sekolah dasar, hingga kau lulus sekolah menengah. Sejak kita masih memakai seragam putih abu, hingga kita merantau ke kota. Aku merekam kenangan ketika kau bermain layang-layang di pinggir sawah, dan kau yang menangis karena layang-layangmu putus, atau ketika kau begitu gembira mendapat hadiah, berupa dua buku tulis, dan sebuah pensil karena kau juara kelas ketika sekolah dasar. Aku bahkan tak yakin, kalau kau lebih mengingat masa kecilmu, daripada aku. Aku mengingat semua masa kecilmu, aku mengingat semua tentangmu.
Aku adalah wanita yang ketika sekolah menengah selalu ingin pulang satu bus denganmu, sekedar melihat wajahmu lebih dekat, sukur-sukur bisa duduk dekat denganmu, atau mungkin bisa ngobrol denganmu kesana-kemari. Ah tidak. Aku takut. Aku terlalu takut. Aku tak mampu mengatur degup jantungku jika dekat denganmu. Aku adalah wanita yang mengagumi seorang pria, tapi tak berani mengungkapkan isi hatinya.
Aku adalah wanita yang selalu membuatkan puisi cinta untukmu, yang tak pernah kuberikan untukmu (dan aku harap, kau memang tak pernah membacanya). Puisi yang diam-diam selalu dibaca temanku, dan dia akan meledekku habis-habisan, sambil tertawa puas setelah membacanya. Aku marah. Aku marah jika ada yang mengambil segala sesuatu tentangmu dariku.
Aku adalah wanita yang telah memiliki kekasih, tapi tak pernah bisa mengusirmu dari ruang tersendiri di kepalaku. Tak pernah bisa mengijinkan orang lain menempati tempat itu. Kekasihkupun tidak. Aku memang bodoh, karena untuk sekedar memberikan alasan mengapa aku masih memberi ruang untukmupun aku tak bisa menjawab.
- Suatu saat kita berpisah (meski sebelumnya tak pernah bersatu). Nasib memanggil kita untuk menemuinya. Kau bergegas ke negeri timur, aku beranjak ke negeri barat. Jarak dan waktu selalu menjadi hantu untuk kau dan aku. -
***
Aku adalah wanita yang selalu mengkhawatirkanmu, ketika kita jauh di kota yang sama-sama asing.
Aku adalah wanita yang mencoba menjadi wanita pertama yang mengucapkan selamat ulang tahun untukmu, meski ketika kutelpon, nomormu sedang sibuk. Mungkin aku kalah dulu dengan kekasihmu.
Aku adalah wanita yang selalu menyimpan semua pesan singkat darimu. Dari yang hanya berisi dua huruf, sampai yang memuat dua halaman lebih.
Waktu seperti sedang naik sebuah pesawat terbang. Pesawat terbang betulan, bukan sekedar pesawat kertas mainan. Melesat cepat. Lalu lalang peristiwa, tapi percayalah, selalu ada waktu untuk mengingatmu.
***
Suatu ketika, aku merasa, bahwa kita semakin mempersempit jarak. Aku tak memaksamu mendekat, kau tak menuntutku untuk lebih dekat. Mungkin waktu dan keadaan berubah jadi sebuah tali yang berpusat pertemuan, menarik kita untuk menuju tengahnya.
***
Kita berjanji untuk bertemu di sebuah restoran di tengah kota. Di sebuah kota di antara kotaku dan kotamu. Aku menjadi wanita tercantik katamu hari itu, dan kau telah kunobatkan sebagai malaikat paling bersinar sedari dulu.
Mulanya sebuah basa-basi ringan, karena lama tak bertemu, lalu sebuah obrolan yang lucu dan tak perlu. Dilanjutkan cerita panjang dan semakin mengasikkan. Mataku suka menangkap matamu yang hendak mencuri pandang wajahku. Kuterjemahkan itu sebagai sebuah pujian untukku. Ini adalah botol minuman kedua, dan french fries yang entah keberapa. Kita terjebak dalam surga, sementara.
Tak terasa, hari sudah hampir senja. Bangku-bangku mulai malas berbicara.
Tiba-tiba kau genggam tanganku yang dingin. Gemetar, seperti ada pertunjukan musik yang riuh dalam hatiku. Aku cuma diam, menerka-nerka, apa yang akan kau lakukan. Kau panggil namaku, lalu matamu mencoba menjerat mataku mataku. Aku pasrah.
Aku coba membalas tatapan matamu, tapi sepertinya terlalu tajam. Aku tak mampu, aku tak bisa memaksakan diri, cuma kutundukan kepalaku.
“Na, aku sayang kamu. Maukah kau jadi kekasihku?”. Tak ada basa-basi dalam kalimatmu. Entah karena kau tak terlalu pandai basa-basi, atau karena karena kau memang bingung merangkai kata-kata, untuk menyatakan cinta yang pas kepadaku.
Hatiku rasanya seperti dimasukkan sebuah blender yang mesinnya dinyalakan. Diaduk, dicampur, tak karuan. Perasaan antara senang, kaget, dan sedih juga. Semua diaduk. Membuat pikiranku mendadak migren, tapi ingin terbang.
Senang karena selama ini ternyata kau juga punya rasa yang sama denganku. Kita saling mencinta. Cintaku tak bertepuk sebelah tangan. Dan aku menjadi wanita terhormat, karena mendapat ucapan cinta dari lelaki yang selama ini jadi impianku. Kaget karena hampir tak percaya bahwa kejadian yang tak mungkin ini ternyata bisa terjadi. Dan sedih, karena nyatanya aku tak bisa menerimamu sebagai kekasihku. Meskipun aku juga menyayangimu. Aku tak mau orang lain tersakiti. Aku tak mau orang tua kita sakit hati. Kita tak mungkin menjadi sepasang kekasih. Karena kau adalah kakak kandungku, dan aku adalah adik kandungmu.